Social Icons

Pages

Selasa, 17 November 2009

Mudik

"Aku ingin menghindari lobang di sebelah kiri ban. Segera kuputar ke kanan, tapi tiba-tiba dari balik tikungan datang mobil ngebut! Tapi untunglah ke parit jalan," kata sopir bus. Aku menggerutu dalam hati. Sudah kecelakaan seperti ini, dia masih bias bilang untung.

Aku dan Isran serta beberapa penumpang laki-laki memeriksa penumpang lain; kalau-kalau ada yang terluka parah. Tapi syukurlah semua baik-baik saja.

Empat jam kemudian datang truk yang akan menarik bus dari parit. Kami beruntung karena tidak terjadi kerusakan fatal pada bus, sehingga perjalanan dapat dilanjutkan. Isran tak mau tidur lagi. Aku jadi kasihan melihatnya; ini kali pertama ia naik bus dan langsung mengalami kecelakaan.

Pukul dua siang kami tiba di stasiun ALS Panyabungan, tepatnya di Desa Sigalapang Julu. Secepat kilat beberapa tukang becak berlari mengejar kami, mirip monyet lapar melihat pisak masak.

Sebelum aku meninggalkan stasiun, aku menghampiri Isran yang bengong melihat deretan rumah penduduk. Aku bias menebak sesuatu yang ada dalam pikirannya. Mungkin selama hidupnya baru pertama kali ia melihat beberapa orang anak muda memakai sarung dengan peci putih di kepalanya, hilir mudik di antara rumah-rumah panggung beratapkan daun rumbia dan ijuk tebal-ijuk itu telah ditumbuhi rerumputan.

Aku merasa, dalam rasa kagumnya, Isran telah melupakan peristiwa yang menimpa bus yang kami tumpangi semalam. Aku juga mulai merasa kesejukan membayangkan akan berjumpa dengan Ibu, Ayah, adik-adik, dan teman-temanku. Aku mendekati Isran, lalu kujabat tangannya sambil memberikan alamatku di kota Madina.

Hari kedua lebaran. Ada tradisi di desaku, yaitu dua hari berturut-turut akan ada perlombaanyang disusun anak-anak muda dan perantau. Pada hari pertama, diselenggarakan lomba makan kerupuk,makan telur rebus, lomba lari karung. Sementara pada hari kedua ada pertunjukan silat, tarik tambang, dan panjat pinang sebagai puncak acaranya yang diselenggarakan di Sungai Kitang. Beberapa anak muda akan keluar dari hutan di pinggir sungai itu dengan seluruh badan tertutup rerumputan hingga tak dikenali, sementara kedua tangannya memegang batang daun pisang. Mereka akan berlari ke arah kerumunan penonton sambil mengayunkan cambuk dari batang daun pisang ke arah penonton.

Anak-anak menjerit sambil berlarian, begitu juga dengan gadis-gadis, dan ibu-ibu yang tertawa sambil bersembunyi di belakang pintu rumahnya.

Di antara kerumunan penonton, aku melihat Isran dengan kamera di tangannya. Aku mensyukuri tradisi desaku ini. Kota Madina, rumah-rumah penduduk, anak-anak muda berkain sarung, semuanya membuatku tak ingin meninggalkannya.

"Aku sangat berharap kelak jika jadi PNS, aku ditugaskan di kotamu ini," kata Isran, sebelum meninggalkan desaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar